-->
https://www.idblanter.com/search/label/Template
https://www.idblanter.com
BLANTERORBITv101

Aksi Demonstrasi Mahasisswa dalam Perspektif Psikologi Massa

Sabtu, 28 September 2019
Aksi Demonstrasi Mahasiswa

Aksi demonstrasi oleh berbagai kalangan massa saat ini tampak marak diberbagai wilayah di Indonesia baik yang berskala kecil maupun besar. Di berbagai media tanah air, aksi massa yang ditujukan kepada DPR telah menjadi perhatian banyak orang.

Aksi demonstrasi yang berjalan damai di ciamis, aksi demonstrasi mahasiswa diberbagai wilayah di Indonesia yang berujung ricuh dengan aparat, hingga aksi anak-anak STM yang dinilai heroik dan kian menuai pujian dari sebagian kalangan telah mewarnai pemberitaan hari ini.

Tidak sedikit yang dirugikan oleh kejadian ini, fasilitas umum yang hancur berantakan, aparat kepolisian dan demonstran juga tidak sedikit yang mengalami luka-luka bahkan harus kehilangan nyawa akibat kejadian ini.

Tulisan ini akan mencoba mengkaji aksi massa tersebut dari sudut pandang psikologi yang telah dibahas oleh Dr. Zainal Abidin pada tulisannya yang berjudul “Mencegah Aksi-Aksi Anarkis di Indonesia”.

Aksi-aksi yang dilakukan tentunya memunculkan berbagai pertanyaan; apa yang menjadi penyebab aksi massa tersebut? Bagaimana karakteristik pelaku aksi massa? Bagaimana kondisi psikologis para pelaku dalam massa aksi? Hingga mengapa aksi massa kerap kali berujung kerusuhan hingga upaya yang kiranya dapat dilakukan untuk mengatasi kerusuhan yang saat ini terjadi.

Mengenal Apa itu Massa

Dalam diskursus psikologi sosial, massa di definisikan sebagai sekumpulan orang (ratusan atau ribuan) dengan perhatian terhadap sebuah peristiwa atau objek yang relatif sama dan keberadanya hanya bersifat sementara.

Pada dasarnya aksi massa tidak selalu terkait dengan aksi-aksi yang berujung destruktif. Emosi yang dirasakan oleh kelompok massa pun tidak selamanya negative (Marah, permusuhan).

Dalam banyak kasus, aksi-aksi massa juga banyak memunculkan perasaan senang yang luar biasa (Joyful Emoticon), hal itu dapat kita lihat pada massa supporter sepak bola yang merayakan kemenangan tim yang mereka dukung.

Jika kelompok massa sudah mulai bertindak anarkis dengan melakukan perusakan secara kolektif, maka jenis massa seperti ini dikenal sebagai mob. Sehingga kita akan mengenal dua jenis massa, yang melakukan kekerasan dan yang tidak melakukan kekerasan.

Mob merupakan bentuk massa dengan emosional yang tinggi dan impulsif sehingga sangat memungkinkan bertindak agresif bahkan mampu melakukan tindakan anarkis terhadap apa yang mereka sasar secara langsung. Fokus massa yang berada pada kondisi mop hanya pada satu tujuan, yakni melakukan penyerangan yang dapat membahayakan sejumlah korban, termasuk melakukan perusakan terhadap harta benda orang lain.

Terlepas dari keduanya, pada umumnya aksi massa memiliki beberapa ciri; (a) Secara fisik mereka berada pada suatu tempat yang sama  atau berkerumun, (b) Mereka tidak bersama dalam waktu yang lama atau permanen, (c) memberikan fokus dan respon yang relative sama terhadap suatu kondisi atau peristiwa tertentu, (d) Emosi yang dirasakan cenderung seragam dan mendominasi ketimbang kognitif  mereka, (e) Kurang atau sulit terorganisir (f) Tugas dan peran diantara para anggota massa cenderung tidak diataur secara tegas, (g) Pemimpin informal cenderung dapat muncul.

Aksi massa yang sebetulnya direncanakan berjalan damai tanpa adanya kekerasan dapat berubah menjadi bentuk massa mob (melakukan kekerasan) bisa terjadi karena adanya provokasi dari anggota massa ataupun dari lawan seperti; “Maju”, “Lawan”. Kata kata itu mampu memberikan motivasi kepada para anggota massa untuk mulai melakukan penyerangan. Bisa juga tindakan kekerasan itu terjadi akibat dari tindakan pihak ketiiga yang dipersepsikan tidak adil, misalnya tindakan kepolisian terhadap para massa demonstran.

Apabila aksi massa mob sudah mulai meluas dan tidak terkendali maka aksi massa ini sudah dapat disebut sebagai riot. Aksi tersebut biasanya dilakukan dalam waktu yang lebih lama, tidak terarah bahkan sering kali tidak terdapat pemimpin dalam setiap aksi massa tiot tersebut.

Kondisi dalam massa riot ini sangatlah berbahaya, sebab siapa saja dapat menjadi korban pelampiasannya selama dianggap memiliki kesamaan (baik fisik maupun tidak).
Baca Juga: Cara Mengatasi Kecanduan Media Sosial
Kondisi ini dapat terjadi dalam aksi-aksi massa, di Makassar, aksi massa mulai menyerang setiap kendaraan dinas yang memiliki plat merah sebab menganggap mereka adalah bagian dari pemerintah yang dianggap tidak mendengarkan aspirasi rakyat.

Dibandingkan aksi oleh massa Mob, massa dalam kondisi riot jauh lebih berbahaya. Tidak adanya pemimpin dalam aksi tersebut serta tujuan yang tidak terfokus tentu menjadi sangat sulit untuk dikendalikan.  Pada aksi mob, Polisi bisa dengan cepat menenangkan massa jika pemimpinnya telah tertangkap. Namun, jika riot telah dimulai, maka itu akan sangat sulit di hentikan jika tidak dilakukan dengan kekerasan. Namun kekerasan yang dilakukan justru akan membuat aksi massa dalam kondisi riot akan semakin meluapkan amarahnya.

Selain riot, aksi-aksi massa biasanya memiliki seorang pemimpin, termasuk mob. Tugasnya dalah memberikan arahan, dan mengarahkan emosi orang disekitarnya pada sasaran tertentu. Hal itu biasa dilakukan dengan orasi-orasi, teriakan-teriakan hingga berbagai ungkapan yang memang ditujukan untuk meningkatkan emosi orang yang berada dalam kelompok massa.

Pemimpin dalam hal ini tidak selalu berarti orang yang dipilih oleh massa untuk menjadi pemimpin, melainkan dapat sebagai role model dalam aksi massa. Misalnya dalam aksi massa mob yang agresif, orang pertama yang yang melakukan penyerangan atau perusakan dapat dijadikan sebagai role model yang memicu tindakan serupa oleh orang-orang disekitarnya.  Orang-orang yang dalam kehidupan sehari-hari selalu meras tersisih atau bahkan tertindas akan mengkompensasikan perasaan tersebut pada aksi-akasi anarkis.

Komposisi Massa

Dalam sebuah aksi massa yang bertindak destruktif, baik itu mob atau riot, tidak semua dari anggotanya melakukan aksi tersebut. Sebagian darinya hanya bertindak sebagai penonton pasif dan sebagiannya hanya melakukan sorakan untuk memberikan dukungan pada para pelaku yang melalukan tindakan destruktif.

Dalam aksi massa mob ataupun riot, pesertanya terdiri sebagai pelau aktif, pasif, dan provokator. Terlepas dari bagaimana perannya dalam aksi massa, pelaku pasif berkontribusi dalam memberi motivasi pada para pelaku aktif dalam bertindak secara anarkis dan liar.

Dalam ilmu psikologi sosial, hal ini dapat disebut sebagai social facilitation. Semakin besar jumlah massa aksi, maka penonton pasif juga akan semakin banyak sehingga kekuatan social facilitasion pun semakin besar, sehingga sangat mungkin aksi massa itu akan melakukan tindakan destruktif.

Tujuan Aksi Massa

Pada dasarnya setiap aksi massa yang dilakukan pasti memiliki sebuah tujuan, yakni perubahan sosial. Para anggota aksi massa mungkin saja melakukan aksinya untuk menuntut adanya perubahan sebuah system sosial yang selama ini dinilai tidak adil atau menjadi lebiih baik. Ada kesepakatan yang hadir diantara mereka untuk bersama-sama melakukan tuntutan agar terjadi sebuah perubahan, dana aksi massa itulah sebagai sarana mereka dalam melakukan tuntutan perubahan.

Kasus akhir-akhir ini, berbagai kalangan turun kejalan, aksi massa oleh mahasiswa maupun pelajar di hampir seluruh wilayah di Indonesia secara serentak adalah bentuk kesepakatan mereka atas ketidakadilan serta RKHUP yang rancang oleh DPR dinilai tidak tepat.

Kekerasan dipilih manakala aksi damai yang mereka lakukan dinilai sudah tidak membawa perubahan, sehingga kekerasan menjadi alat untuk perubahan sosial itu. Hal itu, pernah dilakukan oleh sejumlah organisasi mahasiswa menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru (Mei 1998).

Meski demikian patut juga diketahui bahwa tidak semua aksi kekerasan untuk sebuah perubahan sosial, tidak sedikit pulah aksi massa yang melakukan kekerasan adalah sebagai bentuk ungkapan kemarahan atau kekecewaan atas apa yang mereka rasakan. Hal itu bisa biasa kita temui pada supporter sepak bola yang kecewa atas keputusan wasit atau permainan tim yang mereka bela.

Mengapa Aksi Massa begitu Marak di Indonesia?

Aksi massa di masyarakat tampak menjadi semakin marak terjadi, tidak hanya kalangan mahasiswa, Pegawai negeri Sipil (PNS), Rakyat Sipil, hingga para pelajar SMA turut ambil bagian. Jika kita sedikit melirik kebelakang, pada Rezim Orde Baru, aksi seperti ini adalah pilihan terakhir yang akan dilakukan karena pengamanan yang sangat represif terhadap siapa saja pelaku aksi. Barulah pada tahun 1998 hinga saat ini, aksi massa seolah menjadi alternatif pertama dibanding alternatif lainnya.

Saya kemudian membagi faktor yang menyebabkan maraknya aksi massa kedalam dua ketegori; yaitu faktor non-psikologis dan psikologis.

Faktor non-Psikologis


  1. Dibuat dan diundangkannya kebijakan-kebijakan pemerintah yang seringkali tidak perpihak pada rakyak kecil dan merugikan, misalnya RKHUP yang mengandung kontroversi, atau UU KPK yang justru dinilai melemahkan, Sebagai akibatnya, Sebagian masyarakat mengalami kekecewaan dan melampiaskannya dalam bentuk aksi massa.
  2. Tidak lagi ada lembaga atau tokoh formal yang dapat dipercaya dan menyuarakan tuntutan rakyat. DPR yang merupakan perwakilan rakyat justru dinilai tidak lagi mewakili rakyatnya. Karena secara politik, rakyat kecil memiliki kekuasaan yang relative keci, maka aksi-massa dinilai lebih efektif dalam melakukan tuntutan meraka kepada pemerintah.

 Faktor Psikologis


  1. Social Learning, Khususnya Observational learning. Aksi-aksi yang melakukan kekerasan kerap kali dinilai berhasill dalam mencapai tujuan, sehingga sebagian masayarakat akan turut melakukan hal yang sama. Tanpa adanya reward perilaku demikian sangat mudah untuk menular. Cukup dengan tidak adanya punishment terhadap pelaku kekerasan sudah seolah menjadi “reward” tersendiri.

    Hal inilah yang mungikin menyebabkan beberapa masyarakat turut ambil andil dalam melakukan kekerasan karena mereka menganggap tidak akan mendapatkan hukuman.
  2.  Perceived Injustice. Perasaan tidak adil yang kerap kali dirasakan atas kebijakan pemerintah yang dinilai menguntungkan pihak tertentu mengakibatkan amarah yang mereka rasakan disalurkan kepada siapa saja yang dianggap berafiliasi dengan pemerintahan.

Mengapa Massa Bertindak Anarkis?

Seorang ahli psikologi sosial, LeBon (original: 1895;1999) menggambarkan massa sebagai sekumpulan orang yang memiliki pikiran irasional, emosional, kasar, barbar dan impulsif sehingga aksi merekapun dalam aksi massa akan menggambarkan hal tersebut. Orang-orang dalam kelompok masa memiliki emosi yang mudah menular, sehingga tingkah laku, sikap dan perasaan mereka akan tampak seragam. Sehingga apabila ada salah seorang berteriak “Serang” atau melakukan penyerangang, maka akan diikuti secara serentak oleh yang lainnya.

Keseragaman sikap, emosi dan tindakan menunjukkan”jiwa kolektif” mereka. Hal itulah yang menyebabkan, seorang yang normal dan bermoral sekalipun jika berada dalam sebuah mob yang kejam, akan bertingkah demikian.

Gagasan ini di kuatkan oleh penelitian oleh Festinger, zimbardo, dan Dienerr. Zimbardo, dkk (2000) dan Diener (1979) mengemukakan bahwa orang dalam sebuah kelompok massa mempuanyai kesamaan emosi dan perilaku sehingga mampu melakukan kekerasan, karena mereka mengalami

Deindividuasi.

Deindividuasi adalah hilang atau menurunya kesadaran dari individu. Hal itulah yang membuat mereka mampu bertindak impulsive. Meski demikian bukan berarti dengan adanya pengalaman  deindividuasi, jiwa individunya menjadi “jiwa kolektif”, yang terjadi adalah lepasnya kendali mereka secara internal

Jika seseorang tidak lagi mampu mengendalikan emosi dan dorongan agresifnya, ia tidak akan lagi merasakan takut terhadap akibat dari perbuatannya.

Pengaruh deindividuasi terhadap tingkah laku kekerssan kolektif bisa disebabkan oleh beberapa hal (Postmes & Spears, 1998).

Pertama, orang-orang dalam kelompok massa akan mudah mengembangkan perasaan anonim; ia buka individu yang unik, melainkan sebagai sebuah komponen dari suatu massa.

Kedua, menjadi bagian dari sebuah kelompok massa membuatnya merasa kurang bertanggungjawab atas tingkah lakunya yang negatif.

Ketika, Kehadiran banyak orang dalam sebiah kelompok, dapat menjadi sebuah model untuk menandingi atau menyamai aksi anarkis yang pernah dilakukan oleh orang lain.

Pandangan lainnya juga dijelaskan oleh Reicher (1996;1998) bahwa massa dalam mob atau riot akan memunculkan mekanisme indentifikasi kolektif. Identifikasi tersebut akan mempertebal “identitas kolektif”, meningkatkan konformitas terhadap kelompok (massa), hingga mempertajam perbedaan antara orang yang berada didalam dan diluar group.

Menurutnya, pada kondisi ini, sebenarnya kelompok massa tidak mengalami deindividuasi atau kehilangan kesadaran, melainkan “beralih” atau berganti identitas dari self identity menjadi collective identity. sebagai akibaatnya, jika pikiran emosi dan tingkah laku baru yang berkembang dalam kelompok massa berhubungan dengan kekerasan, maka munculla pikiran, emosi dan tingkah laku kekerasan yang bersifat kolektif.

Hal lain yang dapat menjadi pemicu adalah adanya provokasi sebagai faktor pemicu sehingga aksi yang awalnya berjalan damai beralih menjadi sebuah tindakan destruktif. Keberadan massa yang terlalu lama pun dapat menjadi pemicu, keberadan yang lama akan meninggalkan kesan bahwa mereka diabaikan setelah berjam-jam mencoba menyuarakan apa yang menjadi keinginanya, sehingga bisa saja mereka menjadi marah dan terdorong melakukan kekerasan.

Langkah-Langkah pengendalian massa yang anarkis

Pengendalian terhadap aksi massa yang telah menjadi riot menjadi sangat sulit untuk dikendalikan, bahkan tidak jarang tidakan yang sudah meluas akan memakan banyak korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.

Cara efekif yang untuk mengendalikan massa pada dasarnya adalah melalui cara preventif;
  1. Pemerintah mestinya sigap terhadap seluruh aspirasi masyarakat.Gerakan massa yang terjadi merupakan ekspresi kekecewaan yang mereka alami. Mestinya gerakan massa haruslah menjadi pilihan akhir, namun jika pilihan lain yang dilakukan selalu menemui jalan buntu, maka aksi massa menjadi pilihan pertama bagi masyarakat sebab mereka menilai, dengan itu suara dan tuntutan mereka akan didengarkan.
  2. Jangan membuat kebijakan aneh dan kontroversi

Author

Teman Karir

Teman Karir adalah Teman Karir adalah platform yang berisi career hack untuk para job seeker dan pekerja entry level agar dapat mengembangkan kemampuan mereka dan meningkatkan peluang dalam mencapai karir yang di impikan.

Semoga Bermanfaat..
Jangan lupa meninggalkan komentar ya.

  1. dannys10/10/19

    Sudah seharus nya mahasiswa menyuarakan aspirasinya terhadap pemerintah

    BalasHapus